Senin, 23 Maret 2009

Puisi Irwan Bajang

HUJAN BULAN FEBRUARI

Hujan inikah yang membuatku menggigil berselimut?
atau sepi yang merambat di setiap pori tubuhku yang merinding
membuat aku mengurung diri dalam pertapaan bisu?

Di luar, langit yang kemarin cerah
kini masih saja muram
“gerimis mempercepat kelam”*
membuai rinduku, membiarkan ia tergantung di dekat lemari pakaian

Hujan inikah yang membuatku senyap?
menelikung sendiri dalam lamunan untuk pikiranku yang kerap buntu

Hujan bulan Februari
:bercerita pada diri “Aku manusia, rindu rasa rindu rupa”**

Jogjakarta, 15 Februari 2009


________
*dari sajak Chairil Anwar: Senja di Pelabuhan Kecil
**dari sajak Amir Hamzah: Padamu Jua

Selengkapnya...

Kamis, 19 Februari 2009

Sajak sajak Maman Empun (Lombok Tengah)

KEMBALI KE LOMBOK

Padangbai melambaikan tangannya
Melepas tubuhku di atas gelombang
Gemuruh selat Lombok memecah aroma
Pulau dewata yang tertelan ombak
Di bawah bintang dan bulan kering

Ferry yang tertatih
Menyusuri tiupan angin dalam nafas ikan
Mengantar malam menuju pulau
Di geladaknya rinduku tertanam

Dari jauh
Rinjani memanggilku dari puncaknya
Senggigi memandang malam dari pantainya
Gili terawangan riuh dalam party
Sindang Gila meliuk dalam aliran Tiu Kelep
Rasa sate Bulayak taman Narmada
Menusuk Ampenan tua yang makin renta


Semakin dalam kerinduan
Saat pagi menyentuh pelabuhan
Senyum ramah pantai Sekotong
Menyambut matahari di pucak gunung Sasak
Mengelus perahu nelayan
Sebelum beranjak pulang.


OMBAK, MARAH !

Berteriaklah ombak
Jika kau rasakan sentuhan kehinaan
Yang mengelus setiap sudut sendi-sendimu
Hancurkan batu-batu kokoh
Lalu lumat butir-butir pasir
Karena angin ini telah pasrah

Suarakan amarahmu !

Senggigi, 3 Oktober 2004

RINJANI DALAM OBROLAN

Di tanah lapang ini
Aku mengajakmu bercengkrama
Mengenang butir keringat dan nafas terengah
Aroma pagi dan kabut
Derap desa Sembalun yang kaku
Lambaian pucuk cemara meraih langit
Rerumputan sabana di bukit Tengengean
Akar-akar cemara menguliti haus kita di Padabalong
Segara anak tak bergelombang
Ikan-ikan dalam perapian
Ditemani nyanyian balada pendaki tua
Mengisap rokok dalam dentingan gitarnya
Memecah sunyi Gunung baru dan Sangkareang
Bunga edelweis sepanjang jalan menuju puncak
Jadi teman dalam lelah
Tebing batu dan kaldera
pantulkan suara kerikil yang terjatuh injakan kaki
Kerinduan memuncak pada Pelawangan Senaru
Menderas mengalir seperti obrolan kita
Menghujan dan entah kapan mereda.


2006

SEKITAR MASJID AGUNG PRAYA

Suara azan magrib terdengar dari mulut loudspeaker
Memecah percakapan yang kita rangkai
dari kenangan masa lalu
Suara-suara motor bersliweran
di perempatan Kauman dan Bermis
Mengantar kita menuju tempat sujud marmer
Di bawah kubah raksasa

Seiring asap dari bara penjual jagung bakar
Yang belum juga lena melayani
Sepasang muda-mudi yang masih bercengkrama
Di sepanjang trotoar
Magrib merambat di setiap nafas
Bersama lampu jalan yang menyala
Suara bising knalpot
Seringkali menutup mata para jama’ah
Yang menengok malam dari halaqahnya

Terdengar ribuan wacana
Yang berkelana di luar
Sedikit bermakna
Tak banyak manfaat

Sementara di dalam sana
Do’a-do’a mengalir bagai sungai
Sesejuk kebun mawar dalam mewangian

2008

LEGENDA PUTRI MANDALIKA

Di bukit ini
ilalang bersetubuh dengan angin,
panas matahari dan suara ombak

Terlihat pasir putih di bibir pantai
Menyapa gelombang
Mengulum senyum

Aroma khas batu karang
Tertiup di sela selendang Putri Mandalika
Menjulur menyapu

Di bukit ini
Cinta dan kekuasaan tercampakkan
Meruang dalam aura putri sasak yang jelita
Di balik songketnya dan keputus asaan

Tak dapat ia kabarkan pada manusia
Bahwa cinta bukan untuk dimiliki sendiri
Hanya kepada laut dipersembahkan dirinya
Maka
Terbanglah nyawanya
Menyusuri kerasnya ombak Pantai Seger
Berharap cinta dapat terbagi
Dari legenda yang tercipta


Songket : Kain tenun Sasak


Selengkapnya...

Sabtu, 10 Januari 2009

Effendi Danata

GADIS MUSIM FEBRUARI

Apalagi yang kugantung di hatimu
Gadis bersukma musim februari
Segala jiwaku berputar-putar di musim februari
Seumpama lebah yang hinggap di jendela,terseok seok di ranjang hati
Melupakan sarangnya sendiri di balik pintu

Sepanjang apakah ‘kan kualirkan kelembutan hati
Wahai, gadis bermata bulan sabit
Kau masih berkemas kemas,mencaricari
Saat mawar mengantarmu di penghujung malam
Saat kesunyian telah menjadi kerinduan

Tahukah kau
Wahai, gadis berambut ilalang
Angin menyapa melalui lubang kunci
Keningnya mengkerut
Melepas senyum tak bermakna
Mungkin ia akan menyendiri
bersama gerimis di musim februari

BERCINTA DALAM SAJAK

Bercinta dalam sajak adalah keabadian, tulismu
Saat puisi mengalir di atas bumi
Merasuk, menggetarkan sendi sendi musim kemarau
Merestui seribu percintaan musim semi di hati

Tentu anak adam memanggut ramai
Serupa janji kekasih di atas sutra
Cahayanya berkilau dari lembah sungai Nil
Memberi kehangatan pada gurun yang dikutuk matahari

Adakah kau masih bercinta dalam sajak
Bila hari berangsur malam, lilin tak lagi menjadi pelita
Serupa udara tak mengetuk sang perawan di malam pengantin
Yang ranjangnya pun rebah di pangkuan keresahan

Adakah coretan-coretan yang menjadi sajak sepasang kekasih
Bila kuas-kuasnya tak berwarna
Sedang kanvas melebur setengah nafas
Menjamu kijang berlari pada lembah lembah tak berembun

Kata kata yang menuju ke mana pula
Yang bercinta dalam sajak
Sedang jiwamu terjebak dalam musim gugur
Dan hurup-hurupnya terjerembab entah kemana
Selengkapnya...

Sajak Effendi Danata

Aku telah berjalan ke hulu
Seperti pohon terbatuk-batuk disisi jalan
Menemukan selokan tak bermuara pada kali
Lalu menjemur diri pada rembulan


Aku belum menemukanmu, Nona
Ketika Musa menyapaku di bukit Tursina
Ketika Khairil Anwar termangu
Menyebut namamu dalam doa
Bisikan langit musim gugurlah
Menghantarku pada perjamuan lukisanmu
Ada rindu yang tak tertahan
Tertangkap saja dihalaman rumahmu
Mengeram mimpiku dengan air mata

Jangan kau berkata apa-apa, Nona
Meski kau menemukan apa-apa
Masuklah, telah kubukakan pintuku
Angin malam telah menyulam
Tak usah kau bisikkan
Segala rasa yang mengantarkanmu disudut matahari
Segala rindu yang hilang diujung jalan berkelok
Bibir tipis dan mata lugumu talah menyelimutiku
Dalam sajak yang bergemuruh laut

9 Januari 2009
Selengkapnya...

Sabtu, 03 Januari 2009

Sajak Maman Empun

TENTANG PEREMPUAN YANG LALU

Perempuan yang lalu itu telah kita hancurkan kisahnya dalam kemesraan yang terbangun di malam ini
Perempuan yang lalu itu sudah tak wangi dalam penciuman
Perempuan yang lalu itu makin tak terbaca dalam setiap pikiran yang menjelajah
Seperti lamat-lamat dan mungkin tercerabut dalam ungkapan-ungkapan hilang

Senyum perempuan lalu itu tak lagi merekah
Hanya malam yang mungkin ia persembahkan pada setiap titik-titik air yang jatuh di permukaan rembulan
Sementara kita mesti mengarungi hidup yang pasti
Yang setiap malam menyusun angka-angka
Menyulam huruf-huruf dalam rangkaian kejujuran
Maka kata rindu cukup dipersembahkan pada kebersamaan kita

ANAKKU SENANG MELIHAT HUJAN

Dari balik jendela
Mata bening dan kejernihan auranya
Mengalir di ujung percikan dan rintik
Memburu kepasrahan pada malam yang panjang
Tatapan untuk masa depan yang belum bisa terbaca
Entah akan menjadi mimpi atau hayalan dan prasasti
Ada yang jatuh menerpa langit-langit, tak luput juga dari pandangannya
Setitik demi setitik diiringinya dengan suara baskom dan talam
Hujan tak hanya turun di pekarangan rumah,
Teras kecil dengan sisa atap seng yang berkarat,
Atau kamar kecil yang terbuka atapnya agar tak lembab
Seperti pada kelahirannya
Seperti kepasrahan bapaknya
Seperti kerja ibunya
Ia membungkam pasi
Senyum, tawa disembunyikan dalam celana yang pesing setelah mengompol
Setelah lama terdengar nyanyian yang belum bisa dimengerti
Selengkapnya...